ENERGI_PERUBAHAN.COM, NASIONAL - Pendiri Utama sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat - Forum Wartawan Berintelektual Indonesia (Sekjen DPP - FWBI), Wesli Nadapdap SSi, mengatakan bahwa saat ini yang menjadi tolak ukur bagaimana Kompetensi seorang Wartawan, Standar Tertingginya adalah 'Moral' wartawan itu sendiri.
"Jadi, jika Anda merasa sebagai seorang wartawan ber'moral' baik, tidak perlu malu dan risau jika ada yang menyebut Anda: 'Wartawan Bodong', 'Wartawan Abal-Abal' atau 'Wartawan Gadungan'. Cukup diabaikan saja," kata Wesli saat diskusi dengan beberapa Wartawan di Grand Aston Hotel, Medan, Jumat (23/8).
"Tetapi, jika Ada seorang Wartawan yang memang terindikasi melakukan pemerasan, mem-backing bisnis-bisnis illegal atau mendukung aktivitas korupsi dengan kedok kerjasama, Apakah masih layak dia menyandang predikat Wartawan 'kompeten'?" tanya Wesli.
Foto : Wesli P Nadapdap SSi, Pendiri Utama sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat - Forum Wartawan Berintelektual Indonesia (Sekjen DPP - FWBI) |
Verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers, katanya adalah bagian upaya pengawasan yang kewenangannya ada di Pasal 15 UU Pers No.40 Tahun 1999.
Selanjutnya pada Pasal 10 UU Pers itu, juga mengharuskan perusahaan pers memberi kesejahteraan kepada karyawan dan wartawannya.
"Nah, itu salah satu aspek penting dari verifikasi perusahaan Pers itu," tegasnya.
Tujuan prioritas verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers itu, lanjutnya untuk mengantisipasi maraknya pihak-pihak yang terobsesi mendirikan perusahaan pers tanpa dilandasi etika, integritas dan moral.
"Sebagian besar termotivasi dengan perolehan dana-dana publik lewat kontrak kerjasama, sebagian lagi untuk dijadikan alat sarana 'bermitra' ke mafia bisnis illegal," tambahnya.
Melihat kondisi beberapa tahun belakangan, tutur Wesli, muncul perusahaan-perusahaan pers secara sporadis di seluruh tanah air.
"Data yang kita peroleh, Sumatera Utara menempati posisi tertinggi dengan 7.000 media berita on-line. Bayangkan itu," herannya.
"Para pemilik perusahan pers ini, sebagian tidak memiliki skill jurnalisme. Apalagi integritas. Mereka menunggu berita-berita rilis untuk dimuat di media mereka dengan imbalan sejumlah uang ala kadarnya," tegasnya.
Foto : Wesli P Nadapdap SSi, Pendiri Utama sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat - Forum Wartawan Berintelektual Indonesia (Sekjen DPP - FWBI) |
"Kondisi ini semakin pelik, manakala jurnalisme 'barbar' bersentuhan dengan kekuasaan korup serta bisnis-bisnis illegal," kata Wesli.
Informasi yang menarik, Dewan Pers (DP) juga kewalahan. Sementara Berdasarkan undang-undang yang berlaku, Kewenangan yang mereka (DP) untuk dalam hal pengawasan terhadap pers hanya sebatas mendata perusahaan pers.
"Dari titik ini, bisa dimaklumi betapa pentingnya verifikasi perusahaan pers itu. Upaya inipun selalu dimainkan," katanya.
"Media yang saya pimpin juga belum terverifikasi. Makanya saya tidak berani mempekerjakan wartawan, tanpa digaji. Kalau itu dijadikan dasar menyebut saya 'media abal-abal'' yah... silakan aja," tegasnya.
Wesli menjelaskan, tidak seorang pun di negeri ini memiliki hak memberi label kepada perusahaan pers dan wartawan tanpa didasari amanah dalam pasal-pasal UU Pers. Termasuk 'Dewan Pers'," katanya.
"Apa yang dimaksud wartawan, ketaatan wartawan pada kode moral (Etik) apa tugas dan kewenangan wartawan, sampai kepada sanksi pidana terhadap pers, telah ada diatur di undang-undang itu," tegasnya lagi.
"Sejatinya, menerapkan standar Kompetensi kepada Wartawan untuk mengukur moral dan skill jurnalisme seorang wartawan adalah program yang baik, tetapi di tengah drama bertajuk dekadensi moral yang dipertontonkan pihak-pihak yang merasa sebagai punggawa pers, dengan mengkorupsi dana UKW itu, bagaimana pula?," tanyanya kembali.
Untuk itu, pesan Wesli, sesiapa yang memasuki dunia jurnalistik tanpa didasari panggilan nurani, dikhawatirkan akan menjadi 'bercak noda' bagi profesi yang sebenarnya mulya ini.
Padahal, kewenangan yang melekat pada profesi wartawan adalah amanah dari setiap warga negara bangsa ini, agar mereka dapat beroleh informasi kebenaran dari pemberitaan hasil buruan wartawan.
Makanya, jika ada pelanggaran moral (etik) oleh wartawan, katanya, yang dirugikan, sebagai dampaknya, tetap saja masyarakat.
"Karena masyarakat kehilangan informasi atas peristiwa itu," pungkasnya.(Red/Tim)